Untuk bisa mempelajari dan memahami Bahasa Arab maka kita harus terlebih dulu mengenal istilah kalam. Karenanya materi ilmu nahwu selalu dimulai dengan mengenal kalam.

Menurut Ibnu Ajurruum (nama panggilan pengarang kitab Al Jurrumiyyah), bahwa:

 

اَلْكَلامُ : هو اَللَّفْظُ اَلْمُرَكَّبُ اَلْمُفِيدُ بِالْوَضْعِ

Kalam adalah lafadz yang tersusun, yang memiliki faedah (memahamkan) bagi orang yang diajak bicara, serta dilakukan secara sadar (disengaja)“.

Ibnu Aj Jurruum menjelaskan bahwa ada empat syarat untuk sebuah kalam:

  1. اَللَّفْظُ = Lafadz atau ucapan
  2. اَلْمُرَكَّبُ = Tersusun
  3. اَلْمُفِيدُ = Berfaedah (memahamkan)
  4. بِالْوَضْعِ = Disengaja

Di bawah ini akan saya jelaskan secara singkat keempat syarat tersebut. Sengaja kami menjelaskannya secara singkat agar lebih mudah dipahami dan tidak bertele-tele.

 

اَللَّفْظُ = Lafadz atau ucapan

Makna dari lafadz ialah suara yang memuat sebagian huruf hijaiyyah baik secara nyata atau hukumnya saja. Lafadz haruslah berupa huruf yang diucapkan, maka untuk isyarat atau tulisan tidak bisa dikatakan kalam. Lafadz juga harus memuat dari sebagian huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah mulai dari huruf alif (ا) sampai ya (ي).

 

اَلْمُرَكَّبُ = Tersusun

Makna dari murokkab ialah bahwa tersusunnya kalam dari dua kata atau lebih. Jadi kalau hanya satu kata, seperti زَيْدٌ maka tidak bisa dikatakan kalam.

 

اَلْمُفِيدُ = Berfaedah (memahamkan)

Makna dari mufid ialah sesuatu yang memberikan pemahaman antara orang yang berbicara dengan orang yang diajak berbicara, yang ditandai dengan tidak munculnya pernyatan/pertanyaan baru dari kedua orang tersebut karena informasinya sudah utuh. Kalimat yang murokkab (tersusun) tetapi tidak memiliki faedah (contoh: غلام زيد), maka tidak bisa dikatakan mufid; sehingga tidak bisa disebut kalam.

 

بِالْوَضْعِ = Disengaja

Ada dua pendapat untuk mengartikan kata bil wadl’i. Pendapat yang pertama, bahwa makna bil wadl’i ialah sebagai sesuatu yang disengaja. Jadi, seseorang mengatakan sesuatu itu secara sadar. Jika tidak secara sadar seperti bicaranya orang yang sedang tidur (mengigau) maka tidak bisa dikatakan bil wadl’i. Pendapat ini dipelopori oleh beberapa ulama yang salah satunya adalah Imam Ibnu Malik.

Pendapat kedua mengartikan bil wadl’i sebagai sebuah lafadz dengan menggunakan Bahasa Arab. Jadi untuk lafadz yang tidak berbahasa Arab (seperti Bahasa Indonesia) tidak bisa dikatakan sebagai kalam.

 

Contoh Kalam

  1. اَلْعِلْمُ نَافِعٌ (Ilmu itu bermanfaat).
    Mari kita amati kalimat tersebut, apakah memenuhi empat syarat kalam?
    a) Lafadz menggunakan huruf hijaiyyah (ا, ل, ع …);
    b) Tersusun dari dua kata (اَلْعِلْمُ dan نَافِعٌ);
    c) Berfaerdah (memberikan pemahaman bahwa ilmu itu bermanfaat);
    d) Disengaja (kalimat tersebut dfiucapkan dengan sengaja menggunakann Bahasa Arab).
    Jadi kalimat اَلْعِلْمُ نَافِعٌ memenuhi empat syarat kalam.
  2. وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا (Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. QS An-Nisa: 164).
  3. إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat. HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Demikianlah materi nahwu yang pertama tentang mengenal kalam. Materi berikutnya, Insya Allah saya akan membahas unsur-unsur apa saja yang diperlukan untuk menyusun kalam, atau kalimat Bahasa Arab.